Oleh: Adi ST
Dalam tulisan sebelum ini yang
berjudul Makna-makna dalam Bahasa Al Qur’an telah dijelaskan adanya beberapa
perspektif makna, salah satunya adalah makna syar’i (makna yang dikehendaki Allah SWT dan Rasul-Nya). Ternyata
tidak semua ulama memiliki pendapat ada makna syar’i di dalam Al Qur’an. Salah satunya adalah Qadhi Abu Bakar Al
Baqilani.
Beliau berargumen dengan 2 hal; Pertama, jika memang makna syar’i ada tentunya umat perlu diberitahu
secara tauqifi adanya perpindahan
makna pada lafazh tersebut. Hal ini mengharuskan adanya dalil mutawatir,
padahal tidak ada satu pun dalil mutawatir yang menjelaskan hal perpindahan
makna tersebut. Kedua, jika lafazh
tersebut memiliki makna yang berbeda dengan madlul
(pengertian) menurut konteks bahasa Arab (makna lughawiyah), maka hal ini berimplikasi bahwa Al Qur’an tidak
diturunkan dalam bahasa Arab sehingga menyalahi QS Thaha: 113 yang artinya, “Dan demikianlah
Kami menurunkan Al Qur’an dalam bahasa Arab”.
Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa
As Syari’ (Allah SWT dan Rasul-Nya)
tidaklah menggunakan lafazh-lafazh
tersebut kecuali dalam makna bahasanya. Contohnya adalah kata sholat. Beliau
mengatakan bahwa sholat yang diperintahkan itu adalah do’a, tetapi As Syari’ juga mendatangkan dalil-dalil
lain yang menjelaskan bahwa do’a tidak akan terkabul kecuali dengan syarat yang
telah ditetapkan dalam dalil-dalil tersebut.
Demikianlah pendapat salah seorang
ulama besar yang menolak keberadaan makna syar’i.
Namun, penelitian yang menyeluruh terhadap Al Qur’an dan As Sunah menunjukkan
bahwa makna syar’i memang ada.
Buktinya adalah huruf-huruf di awal beberapa surat Al Qur’an telah digunakan As Syari’ untuk menamai surat tersebut,
sedangkan orang Arab tidak mengetahui bahwa huruf-huruf itu adalah nama bagi sebuah surat. Bukti lainnya,
ada ungkapan yang diketahui orang Arab namun mereka tidak tahu maknanya, yakni lafazh Ar Rahman yang adalah dimaksudkan
untuk Allah SWT. Orang Arab saat itu tidak menggunakan lafazh Ar Rahman untuk menyebut Allah SWT. Ketika turun QS Al
Isra’:110 yang artinya, “ Serulah Allah
atau serulah Ar Rahman”, orang Arab mengatakan, “Kami tidak mengenal Ar
Rahman, kecuali Rahman Al Yamamah”.
Di dalam As Sunah pun dapat
ditunjukkan bukti adanya makna syar’i.
Di dalam sebuah hadits sahih riwayat Imam Tirmidzi disebutkan bahwa Rasulullah
SAW bersabda, “Iman itu ada tujuh puluh
tujuh pintu. Pintu yang paling rendah adalah menyingkirkan bahaya dari jalan,
dan yang paling tinggi adalah perkataan Laa ilaaha illallah”. Di sini kata iman tidak digunakan dengan makna
bahasanya, yakni tashdiq
(pembenaran). Namun ditunjukkan dengan makna lain yang bukan tashdiq, yakni menyingkirkan bahaya dari
jalan. Dengan demikian, makna syar’i memang
benar adanya.
Sumber: Keadilan Sahabat
(2004) oleh A Said Aqil Humam Abdurrahman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar